Mengukur Dampak Kebijakan Trump Bagi Dunia TIK Indonesia
Di berbagai negara, keputusan dari tarif impor yang dibacakan Presiden Trump terus menuai berbagai reaksi. Termasuk juga di Indonesia. Hanya dalam beberapa hari kita melihat dampak negatif dalam skala global.
Melihat dari apa yang dipermasalahkan Amerika, ada beberapa hal yang diharapkan Amerika bisa disesuaikan agar terjadi mutualisme dengan Indonesia.
1. Peraturan TKDN (Total Kandungan Dalam Negeri)
Dengan adanya peraturan ini, memang ada beberapa produk yang tidak bisa dengan mudah masuk ke Indonesia. Kita masih ingat kendala yang diharapi Apple, dan diminta harus melakukan investasi di Indonesia.
Kebijakan TKDN ini memang seharusnya dipertahankan untuk menjaga berkembangnya industri dalam negeri. Kondisi industri TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) Indonesia memang tidak bisa mengandalkan manufaktur, tapi kita memiliki potensi di bidang software.
2. Cross-border Data Flow.
Cross-border data flow adalah mekanisme transfer data pribadi yang dilakukan antar negara. Transfer data lintas batas ini dapat melibatkan kompleksitas hukum dan peraturan yang ada.
Ini yang menjadi catatan penting bagi para penyedia teknologi AS seperti Amazon (AWS), Microsoft, Google, dan Meta dalam menyediakan layanan cloud, perangkat lunak, dan platform digital di Indonesia. Indonesia, dengan ekonomi internet diproyeksikan mencapai USD 146 miliar pada 2025 (menurut laporan Google, Temasek, dan Bain), sangat bergantung pada infrastruktur dan layanan digital dari AS.
Indonesia memiliki aturan terkait cross-border data flow, yaitu Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No. 27/2022, yang berlaku penuh sejak Oktober 2024, mewajibkan transfer data pribadi ke luar negeri memenuhi salah satu dari tiga syarat: (1) negara tujuan memiliki standar perlindungan setara (Adequacy of Protection), (2) adanya pengamanan yang memadai (Appropriate Safeguards), atau (3) persetujuan eksplisit dari subjek data. Disinilah kendala terjadi karena belum jelasnya mengenai Adequacy of Protection yang dikeluarkan negara Indonesia.
3. Pelindungan Data Pribadi sektoral
Peraturan seperti POJK 22 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan aturan Bank Indonesia membatasi transfer data pelanggan sektor keuangan ke luar negeri tanpa izin tertulis, menambah lapisan kompleksitas bagi perusahaan AS seperti PayPal atau Visa. Ini juga yang mungkin dianggap menjadi masalah bagi perusahaan AS.
4. RUU Keamanan dan Ketahanan Siber
Salah satu RUU yang "rumit" karena terkait ketahanan siber negara kita. Dan ini memang akan merumitkan perusahaan luar, termasuk dari AS untuk bisa memastikan mengikuti aturan yang ada, seperti UU PDP dan lokalisasi data.
5. Kemandirian TI
Terakhir yang harus saya ingatkan kembali adalah pentingnya sebagai negara untuk memperhatikan kemandirian Teknologi Informasi. Saat ini kita adalah pengguna sebagian besar produk dari luar negeri, termasuk untuk produk pengembangan software. Maka kita harus mulai memikirkan strategi untuk memiliki kemandirian di bidang teknologi informasi. Bila kita tidak bisa melakukan proteksi atas market TI di negara kita sendiri, maka sulit mencapai kemandirian, dan kita akan cenderung terus menjadi pengguna.
Kemandirian TI ini tidak hanya mampu menghasilkan produk atau aplikasi yang dipakai di negara kita sendiri, tapi juga mampu mengekspor nya untuk negara lain.
Mungkin dalam jangka pendek ini, kita masih direpotkan dengan nilai kurs yang naik-turun dan harga produk IT yang akan meningkat juga, tapi dalam jangka panjang, mari berpikir dan mempersiapkan kita memiliki produk dan aplikasi sendiri, sehingga tidak harus bergantung kepada negara lain, termasuk negara AS.
Fanky Christian, Sekjen APTIKNAS